Siapa yang
tidak mengenal rendang? Makanan khas minang dengan potongan daging
berbumbu dengan citarasa pedas ini amat terkenal bahkan sampai ke mancanegara.
Banyaknya rumah makan padang yang menyediakan menu ini turut berperan
mempopulerkannya. Menurut Cable News Network di Amerika Serikat dan
dilansir oleh laman www.cnngo.com, hidangan racikan urang
awak ini mendapati peringkat 11 dari 50 daftar makanan terenak di
dunia.
Bila ditelusuri sejarah kehadiran rendang sudah lama ada namun belum jelas tahun munculnya. Hanya dalam Hikayat Amir Hamzah tahun 1550, rendang sudah disebut. Ini bukti rendang pun akrab dalam lingkungan kerajaan dan masyarakat melayu.
Menurut jenisnya rendang dibagi menjadi tiga. Ada rendang darek, rendang bukik dan rendang payakumbuh. Perbedaan itu berangkat dari nama daerah rendang itu dibuat. Masing masing daerah memiliki cara pengolahan dan penampilan yang unik. Rendang darek misalnya memiliki warna hitam.
Darek (atau ‘darat’ dalam bahasa minang) merupakan sebutan wilayah perbukitan di minangkabau. Wilayahnya mencakup beberapa kabupaten/kota yang berada di kaki bukit barisan, seperti Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, dan wilayah sekitarnya. Di minangkabau, darek juga biasa disebut Luhak Nan Tigo (luhak yang tiga). Wilayah darek adalah tempat berasalnya adat minang.
Dalam perkembangan adat mingkabau dan islam, rendang telah memberikan andil. Rendang bahkan menjadi penanda pertemuan dua kutub tersebut. Islam datang dari pesisir pantai barat. Sedangkan adat minang berangkat dari darat. Perjumpaan ini menghasilkan falsafah yakni “syara mandaki, adat manurun “ ( agama mandaki, adat menurun). Hal ini bermakna bahwa agama islam yang berasal dari pesisir mengalami perkembangan dengan mendaki ke darat. Sedangkan adat minangkabau yang berasal dari darat bergerak “menurun” kearah pesisir. Pertemuan adat minang dan islam inilah yang kemudian menghadirkan falsafah ” adat basandi syara’, syara’basandi kitabullah” (adat bersendikan agama, dan agama bersendikan kitabullah)
Rendang memang telah menjadi simbol peralihan kultur masyarakat minang yang hidup di pesisir pantai barat Sumatera yang semula lebih kerap menyantap ikan dibandingkan daging. Rendang pun telah menjadi santapan komunal masyarakat minangkabau dimanapun berada terlebih ketika perayaan besar berlangsung seperti Idul Fitri, Idul Adha. Sedangkan dalam baralek (pesta pernikahan) rendang menjadi kapalo samba (lauk utama) yang disiapkan para mande (ibu).
Namun lebih
daripada itu, rendang menjadi identitas masyarakat minagkabau. Sebab tiap unsur
dalam rendang bermakna dan merepresentasikan elemen dalam masyarakatnya. Dagiang (daging)
sebagai lambang ninik mamak (para pemimpin adat), karambia (kelapa)
sebagai lambang cadiak pandai (kaum intelektual), lado (cabe)
sebagai lambang alim ulama yang pedas dan tegas, serta pemasak (bumbu)
sebagai pelengkap yang merupakan lambang dari keseluruhan masyarakat minang.
Mereka mempercayai bahwa untuk menciptakan kesejahteraan, dibutuhkan perpaduan
empat unsur itu secara seimbang.
Oleh karena
itu, sudah sepatutnya generasi muda minangkabau tetap melestarikannya. Tidak
sekedar menyediakannya dalam sebuah perhelatan lalu menyantapnya tapi menyadari
betul hakikat dari rendang.
MasyaAllahu, ternyata filosofi rendang dalam juga yaa ... keren...
BalasHapus