Jangan heran bila melihat rumah makan padang ada di Cirebon, Balikpapan bahkan Papua. Di
luar negeri seperti Australia pun rumah makan padang telah berdiri. Ini seolah
mempertegas eksistensi masyarakat minang
di pelosok negeri.
Berpindah dari kampung halaman ke daerah lain dalam
tradisi masyarakat minang bukan hal yang baru. Tradisi yang tumbuh dan
berkembang sejak berabad silam dikenal dengan nama merantau. Salah satu pantun yang
menguatkan keunikan tradisi ini berbunyi:
Karatau
madang di hulu
Babuah babungo balun
Marantau Bujang dahulu
Di kampuang baguno balun
(Keratau madang di hulu
Berbuah berbunga belum
Merantau Bujang dahulu
Di kampung berguna belum)
Babuah babungo balun
Marantau Bujang dahulu
Di kampuang baguno balun
(Keratau madang di hulu
Berbuah berbunga belum
Merantau Bujang dahulu
Di kampung berguna belum)
Pantun ini mengungkapkan bahwa dalam konsep budaya alam minang dikenal wilayah inti dan rantau. Rantau secara tradisional
merupakan wilayah ekspansi, daerah perluasan. Seiring perkembangannya konsep
rantau dilihat sebagai sesuatu yang menjanjikan harapan untuk masa depan yang
lebih cemerlang dan mencapai kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik. Merantau
pada dasarnya memiliki tiga tujuan penting yakni mencari harta(berdagang),
mencari ilmu, atau mencari pangkat.
Dalam alam pikiran masyarkat minang, kampung halaman atau tanah kelahiran ibaratnya
persemaian yang berfungsi untuk menumbuhkan bibit. Setelah bibit tumbuh, mereka
harus keluar dari persemaian ke lahan yang lebih luas agar menjadi pohon yang
besar kemudian berbuah. Proses seperti inilah yang dialami dan kemudian terlihat
pada tokoh-tokoh asal minang yang berkiprah di “dunia” yang jauh lebih luas
seperti Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Muhammad Yamin, Hamka,
Muhammad Natsir, Haji Agus Salim, atau generasi yang lebih belakangan lahir,
tumbuh, mengalami masa kecil dan remaja di kampung, lalu pergi merantau dan
“menjadi orang”.
Tradisi merantau nyatanya tidak saja dilakukan oleh
masyarakat minang tapi juga suku lain seperti batak, bugis, madura. Namun merantau
masyarakat minang berbeda dengan suku lainnya. Masyarakat minang merantau
dengan kemauan dan kemampuan sendiri. Mereka yakin proses ini semacam
penjelajahan hijrah untuk membanngun kehidupan yang lebih baik. Keyakinan
inilah yang membuat mereka bertahan di rantau bahkan menjadi lebih besar.
Selain itu juga didukung oleh kemampuan masyarakat minang yang tinggi dalam beradaptasi
dengan lingkungan ditambah kemampuan berkomunikasi yang baik. Ini sesuai dengan
ungkapan yang merupakan falsafah hidup
masyarakat minang “ di mana bumi di pijak, di situ langit dijunjung atau di kandang kambing
mengembek, di kandang kerbau mengo’ek”.
Sepanjang sejarahnya, orang Minang di perantauan tidak pernah terlibat konflik dengan masyarakat di manapun mereka berada. Ini karena budaya dan perilaku hidup mereka yang yang terbuka, tidak eksklusif, dan hidup membaur dengan masyarakat setempat. Di mana pun rantaunya, orang Minang tidak pernah membuat “kampung”. Tidak ditemukan ada Kampung Minang di kota-kota di mana perantau Minang jumlahnya cukup banyak. Sebaliknya, di kampung halamannya sendiri mereka memberikan “kampung” kepada para pendatang, termasuk kepada orang Cina. Di Padang, Bukittinggi dan Payakumbuh ada Kampung Cino (Cina), di Padang dan Solok ada Kampung Jao (Jawa), atau Kampung Keling di Padang dan Pariaman.
Karena daya adaptasi, kemampuan menyesuaikan diri, yang tinggi itu, mereka pun diterima oleh masyarakat di mana mereka berada. Mereka diterima menjadi pemimpin formal maupun informal di rantaunya masing-masing. Sebutlah, misalnya, Mr. Datuk Djamin yang menjadi Gubernur Jawa Barat yang kedua (1946); Gubernur Maluku yang kedua dan ketiga, yakni Muhammad Djosan (1955-1960)
Sepanjang sejarahnya, orang Minang di perantauan tidak pernah terlibat konflik dengan masyarakat di manapun mereka berada. Ini karena budaya dan perilaku hidup mereka yang yang terbuka, tidak eksklusif, dan hidup membaur dengan masyarakat setempat. Di mana pun rantaunya, orang Minang tidak pernah membuat “kampung”. Tidak ditemukan ada Kampung Minang di kota-kota di mana perantau Minang jumlahnya cukup banyak. Sebaliknya, di kampung halamannya sendiri mereka memberikan “kampung” kepada para pendatang, termasuk kepada orang Cina. Di Padang, Bukittinggi dan Payakumbuh ada Kampung Cino (Cina), di Padang dan Solok ada Kampung Jao (Jawa), atau Kampung Keling di Padang dan Pariaman.
Karena daya adaptasi, kemampuan menyesuaikan diri, yang tinggi itu, mereka pun diterima oleh masyarakat di mana mereka berada. Mereka diterima menjadi pemimpin formal maupun informal di rantaunya masing-masing. Sebutlah, misalnya, Mr. Datuk Djamin yang menjadi Gubernur Jawa Barat yang kedua (1946); Gubernur Maluku yang kedua dan ketiga, yakni Muhammad Djosan (1955-1960)
Tahun berganti, zaman berubah
namun tradisi syarat makna tersebut masih tetap berlangsung hingga sekarang.
Generasi minang masa kini toh nyatanya berlomba-lomba melakoninya. Semoga
tradisi ini membuat kita tidak melupakan kampung halaman sebagai tempat awal
kita berpijak.
Posting Komentar